Selasa, 08 Desember 2009

[Wajib baca] Kasus Ibu Prita Mulyasari dari Sisi Dokter: Kalau Dokter Boleh Mengeluh…

asli bro semua disini wajib baca tulisan ini, banyak banget manfaatnya... gw dapetnya dari kompasiana. kebetulan banget pas gw baca ini, gw inget ada temen gw dari orang medis... jadi kena banget.

langsung aja.... ini tulisannya tp sory aga panjang:

“I solemnly pledge myself to consecrate my life to the service of humanity”

Sebelumnya, saya sampaikan dukungan sepenuhnya kepada Ibu Prita Mulyasari dan keberadaan Cause ini, semoga dapat memberikan wacana yang menarik perhatian, juga tindakan, dari para pengguna Facebook maupun pihak yang berwenang, terhadap satu dari sekian banyak kasus sengketa yang marak terjadi mengenai layanan kesehatan Indonesia, baik yang mengemuka maupun yang tak terpublikasikan. Perkenankanlah saya sedikit beropini, berdasarkan dari kacamata sempit sebagai seorang dokter yg saya alami.

Saya seorang dokter. Dilantik dan mengucapkan Sumpah Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2007. Baru sepersekian detik memang pengalaman saya bila dibanding ratusan ribu sejawat senior di Indonesia. Dan baru sepersekian detik itu pulalah saya melangkah dalam sebuah hubungan suci antara dokter dengan pasien. Ya, hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan suci antara manusia yang membutuhkan pertolongan dengan manusia pemberi tolong, bukan transaksi ataupun jual beli, itulah setidaknya yang diajarkan kepada saya selama kuliah.

Namun sepersekian detik itulah mata saya terbuka, bahwa dunia layanan kesehatan yang baru saya masuki ini tidaklah seindah teori yg terajarkan. Bilamana masyarakat awam menikmati satu-dua kasus sengketa layanan kesehatan (yg kemudian dgn mudahnya memberikan salah-julukan “malpraktek”) melalui publikasi media harian — kami menghadapi dan berjalan di titian sempitnya puluhan kali dalam sehari. Titian yg kuat lemahnya terbangun saat kami menjalani pendidikan, dan sedikit-demi-sedikit tergerus pengaruh sistem dan lingkungan, juga kebutuhan materi untuk penghidupan.

Pembaca yg terhormat, apa yg anda pikirkan ketika anda sakit dan datang ke dokter? berapa banyak dari anda yg berpikir bahwa dokter adalah layanan penjual jasa? layaknya bengkel, penjual pulsa, penjual gado-gado? dimana anda mengatakan apa yg anda butuhkan, kemudian dokter memberikan apa yg anda butuhkan, kemudian anda membayar, kemudian anda pulang dgn kebutuhan yg telah terpenuhi?

Itulah sistem yg telah terbentuk dan kita jalani saat ini. Sistem telah menempatkan dokter (juga dokter gigi, perawat dkk) sebagai layanan penjual jasa. Jual-Beli! transaksi antara penjual dan pembeli. Berbanggalah, Indonesia hanya satu penjiplak sistem transaksional yg (agak kurang) sukses. Lihatlah negara tetangga kita Singapura yang luar biasa sukses, atau cetak birunya di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Dengan adopsi pola sistem jual-beli jasa kesehatan, maka dokter dicetak sebagai alat penjual jasa (baca= mesin). Penjual jasa yg sukses cenderung dinilai berdasar cakupan konsumen, kepuasan konsumen terhadap layanan, dan tentunya keuntungan yang diterima oleh penjual layanan tersebut. Berapa banyak dari anda yang berpikir bahwa dokter yg bagus adalah dokter yg pasiennya banyak, pasiennya banyak yg sembuh dan pulang dengan bahagia (setimpal dengan bayaran yg diberikan), dan dokternya menghasilkan banyak uang dari apa yg dikerjakannya? berapa banyak dari anda yg berpikir bahwa semakin terkenal dan megah RS semakin baik pula angka kesembuhannya? berapa banyak dari anda yg berpikir bahwa berobat ke RS di negara tetangga lebih menjanjikan kesembuhan, setimpal dengan harganya yang menawan? berapa banyak dari anda yang berpikir bahwa dokter asing lebih berkualitas dari dokter Indonesia (seperti alat elektronik saja ya)? berapa banyak dari anda yang berpikir dokter spesialis lebih pandai dari dokter umum biasa?

Lalu apa yg terjadi bila seandainya layanan itu mengecewakan? tak memberi kesembuhan justru kesakitan? sudah dibayar, bukannya sembuh malah tambah penyakit. Sistem transaksional yg dianut tersebut memberi peluang tuntutan kesalahan yang berujung pada permintaan pemberian ganti rugi materi bukan?. Maaf bila dramatisir dari saya membuat dokter benar-benar mirip bengkel motor, “garansi 3 hari, bila rusak berlanjut kami akan mengganti”. Anda tidak salah, pembaca yg budiman. Sistemlah yang cenderung menyusun sudut pandang sebagian dari anda menjadi sudut pandang seorang konsumen. Dan itu dibenarkan dengan hukum dan perundangan yang berlaku.

Rupanya sistem tersebut tidak hanya membentuk pasien menjadi bercara pandang konsumen yang membeli suatu layanan. Sistem layanan penjual jasa kesehatan tersebut juga berpengaruh terhadapi DOKTER dan para pemberi jasa kemanusiaan pula. Sadarilah bahwa dokter dan penyedia layanan kesehatan (klinik, RS) telah memposisikan diri mereka sebagai penjual. Orientasi beranjak dari kemanusiaan menjadi BISNIS.

Lihatlah berapa banyak dokter, klinik dan RS yang berupaya menjaring pasien sebanyak-banyaknya. Tebar iklan di mana-mana. Seandainya papan nama praktek dokter tak ada aturan ukurannya, pastilah di jalan-jalan kota anda penuh dengan baliho bertulis nama dan alamat dokter seisi kota. Seperti hanya RS-RS di negara tetangga yang jor-joran promosi di kantor-kantor para pengusaha.

Lihatlah berapa banyak dokter, klinik dan RS yang berupaya memberikan layanan luar biasa mewah bagaikan istana, fasilitas hotel bintang lima, memberi nama dengan embel-embel “internasional” yg membahana, melengkapi peralatan penunjang diagnosis dengan kecanggihan luar biasa, agar pasien tertarik untuk periksa di sana. Semakin banyak pasien semakin lancar uang mengalir di bisnis kerumahsakitan.

Lihatlah berapa banyak dokter, klinik dan RS yang berupaya mentarget angka kesembuhan dengan menghalalkan segala cara. Melacak diagnosis mengandalkan aneka pemeriksaan laboratorium yang merajalela tak berguna, padahal hanya demam dan varicella biasa. Justru pasien malah merasa bangga, dokternya memeriksa banyak parameter laboratorium karena teliti. Karena teliti atau tidak terampil memeriksa dan takut salah diagnosis? defensive medicine berkembang mengikuti pola di Amerika. Lagipula, dokter cenderung TAKUT PASIEN TIDAK MERASA SEMBUH DAN TIDAK KEMBALI, sehingga membombardir dengan segepok obat plus antibiotik, padahal jelas-jelas infeksi viral. Ketahuilah juga bahwa 90% penyakit selesai di level dokter keluarga, hanya dengan sedikit obat simptomatik ringan, ramah tamah komunikasi-edukasi, dan rawat rumah dengan istirahat-nutrisi yang cukup! — menurut pendapat saya termasuk kecurigaan demam pada Ibu Prita Mulyasari (ilustrasi pendekatan berdasar surat pembaca beliau yg dimuat).

Lihatlah berapa banyak dokter, klinik dan RS yang berupaya mencari untung sebesar-besarnya. Berapa banyak dari anda yang setiap kali ke dokter selalu diberikan obat bermerek nan mahal? atau justru anda yg meminta karena menurut anda yg bermerek dan mahal itu lebih baik? tentu saja anda akan membuat para dokter, termasuk saya, sangaat-sangaaat berbahagia! karena bila kami menjual obat paten banyaak, maka fee-peresepan dari perusahaan itu juga banyaak! bahagialah kami. Berapa banyak kerabat anda bangga ketika dilakukan operasi? atau justru minta dioperasi ketika patah tulang? padahal biaya pembelian plate/pen platina kami lipatkan 4x dari harga distributor, plus kami mendapat uang jasa medik operasi, padahal patah tulang tersebut sebenarnya cukup direposisi dan immobilisasi dengan plaster-cast (gips) sederhana?. Berapa banyak kerabat anda yang merasa telah menjalani operasi pengangkatan appendiks (usus buntu) dengan sukses? padahal berdasar hasil pemeriksaan patologi anatomi dari jaringan usus buntu tersebut ternyata hanya radang ringan biasa, yang tidak butuh dioperasi?

— anda hanya tidak tahu saja, seandainya kami membukukan berbagai jenis kecurangan dapat yang kami lakukan pada anda, mungkin akan lebih tebal daripada kamus besar Bahasa Indonesia; karena kebanyakan dari anda justru bangga ketika kami curangi — canda

Lihatlah bagaimana Pemerintah memperlakukan dokter dan pasien layaknya konsumen dan produsen?. Dokter dicetak sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas, semata demi mengejar rasio jumlah dokter dengan jumlah penduduk. Pendidikan kedokteran beralih dari institusi suci pendidik menjadi lahan bisnis. Cobalah anda bertanya, lebih mudah mana sekarang masuk ke Fakultas Kedokteran dengan ujian atau membayar sumbangan? ketahuilah, lebih mudah untuk menjadi dokter bila orangtua anda kaya. IDI mencoba memberlakukan Surat Tanda Registrasi dan kewajiban ujian untuk menyaring kualitas lulusan dokter yang tercetak; tapi apa yang terjadi — soal ujian yang terlalu gampang dengan passing grade yang terlalu rendah untuk mengakomodir “mereka yang masuk Fakultas Kedokteran bukan karena kepandaian otak!”. Bullshit! (maaf) makin banyak dokter goblok berkeliaran. Dapatkah anda wahai para pasien membedakan mana dokter penjahat dan mana dokter yg lurus benar?

BAGAIMANAKAH POSISI DOKTER-PASIEN YANG DIAJARKAN (setidaknya kepada saya)

Saya bukanlah dokter yang merasa paling suci dan paling benar, saya telah banyak melakukan kesalahan. Saya juga dokter yang bodoh, bukanlah dokter dengan IP cumlaude untuk mengingat secara detil kuliah etika kedokteran yang diajarkan sejak semester satu dan selalu diulang-ulang hingga saya lulus. Setidaknya yang saya ingat akan saya gambarkan sebagai ilustrasi gampang berikut:

--------------------------------------Bersambung------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar