Selasa, 08 Desember 2009

Kalau Dokter Boleh Mengeluh Part II

Adakah teman sepermainan anda sejak SD yang menjadi dokter? bilamana anda bertemu dengannya? Ya, hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan sahabat. Sahabat yang sedang sakit meminta tolong sahabat lain yang dapat mengobati sakitnya. Hubungannya adalah SAKRAL, dimana sang sakit menyerahkan segenap raganya untuk diperlakukan sedemikian rupa oleh penyembuh. SAKRAL karena sang sakit dengan sendirinya MEMILIH kepada siapa raganya DIPERCAYAKAN. SAKRAL karena sang penyembuh MAU DAN MAMPU menerima kepercayaan dari sang sakit.

Atas landasan itikad percaya satu sama lain, dokter dan pasien menjalin hubungan. Bukan berdasar atas siapa melayani siapa, siapa pembeli dan siapa penjual. Dengan adopsi pola hubungan konsumen-penyedia jasa tersebut, menurut etika kedokteran, justru merendahkan martabat pasien sebagai obyek, sebagai benda, sebagai motor bila itu bengkel.

Kesepakatan untuk mengobati HANYA BOLEH DILAKUKAN bila dokter dan pasien sudah terikat percaya satu sama lain. Oleh karena itu, jalinan komunikasi harus terbentuk SEBELUM proses pemeriksaan dan terapi dilakukan. Maka dari itu, kenalilah doktermu terlebih dahulu (bagi pasien) dan kenalilah dulu pasienmu (bagi dokter), lalu jalinlah hubungan, jalin kepercayaan. Kesepakatan-kepercayaan inilah dasar vital bagi berlangsungnya etika kedokteran dengan baik. Kenyataannya di lapangan? sudahkah anda melakukannya? ini adalah dasar lhoo… kok mau-maunya anda menyerahkan hidup anda pada orang yang anda tidak percaya? bahkan anda tidak kenal? bagaimana kalau ternyata yang anda berikan kepercayaan hidup anda itu maling pemburu harta belaka? bagaimana anda tahu dia maling? cuma gara-gara RS megah dan canggih ala negara tetangga lalu anda percaya mereka bukan maling? konon maling sekarang perlente lhoo… mau-maunya ditipu.

Itikad kepercayaan dan etika kedokteran, sebenarnya sudah ada jauuh sebelum UU Praktek Kedokteran kita disahkan. Pada hakikatnya, ia seharusnya sudah lebur ke dalam jiwa setiap penyelia jasa kemanusiaan. Ketika ijab-kabul kepercayaan itu terjadi, etika kedokteran jauh lebih dapat dilaksanakan daripada berdasar tansaksi jual-beli, karena pelaksanaan etika kedokteran yang benar butuh hubungan sangat mendalam antara dokter pasien. Coba lihat cuplikan populer mengenai etika medis yang penjelasan panjangnya anda dapat temukan dengan mudahnya di situs terkenal http://en.wikipedia.org/wiki/Medical_ethics



* Autonomy - the patient has the right to refuse or choose their treatment. (Voluntas aegroti suprema lex.)
* Beneficence - a practitioner should act in the best interest of the patient. (Salus aegroti suprema lex.)
* Non-maleficence - “first, do no harm” (primum non nocere).
* Justice - concerns the distribution of scarce health resources, and the decision of who gets what treatment (fairness and equality).
* Dignity - the patient (and the person treating the patient) have the right to dignity.
* Truthfulness and honesty - the concept of informed consent

dapatkah mereka terlaksana tanpa hubungan saling percaya yang harmonis antara dokter dengan pasien?

Hubungan dokter dan pasien hanya dan hanya akan tercipta bila 6 asas tersebut terpenuhi. Bila satu saja dari asas tersebut tidak terlaksana, maka yg pasti hubungan tersebut tidak layak disebut sebagai hubungan antara dokter dan pasien. Sebagai contoh, dalam kasus Ibu Prita Mulyasari, sudahkah 6 asas tersebut terlaksana? sudahkah hubungan antara dokter dgn Ibu Prita layak disebut hubungan dokter pasien? adakah diawali dengan deal saling percaya antara dokter dan pasien? (yang ada adalah Ibu Prita menduga bahwa RS ybs “tampaknya” layak dipercaya, sedangkan RS tersebut menerima pasien “seperti biasa”: sebagai pembeli jasa). Dalam kasus Ibu Prita Mulyasari, kalau boleh saya lancang, saya akan menamakannya hubungan pedagang dengan pembeli (biasanya pembeli yang banyak menuntut ke pedagang, yang ini justru pedagang menuntut pembeli karena pencemaran nama baik, yang dapat mengakibatkan dagangannya mungkin tidak laku), bukan hubungan antara dokter dengan pasien.

Kepercayaan diawali dengan kenal tidaknya kita dengan sesuatu yg akan kita berikan kepercayaan. Kendala yg dihadapi di negara kita adalah pasien sama sekali tidak mengenal siapa yg diberikannya kepercayaan, dunia seperti apa tempat ia sandarkan sepenuhnya dirinya. Pasien yang buta terhadap dunia medis selalu berjumlah jauh lebih banyak daripada yg melek, terlebih di negara kita. Keterbatasan akses informasi, stigma kedewaan dokter dan RS (always work in unknown ways), strata ekonomi yang lemah, kondisi sosial dan budaya, menyebabkan rendahnya pula kesadaran masyarakat untuk mempelajari seluk beluk dunia medis. Ilmu medis dianggap ilmunya dokter saja, si penyembuh serba bisa. Inilah yang menyebabkan msyarakat cenderung “pasrah bongkokan” kepada dokter, menyerahkan nasib sepenuhnya pada siapapun dokternya, apapun RSnya, apapun tindakannya. Inilah penyebab fenomena gunung es “kejahatan dan kesalahan medis” : yang masyarakat tahu dan permasalahkan hanya ujung mungilnya saja, sebagian besarnya yang terletak di bawah permukaan air masyarakat tak pernah tahu, hanya dokter yang tahu. Dan banyak dokter yang bukannya membantu menjadi penyedia akses informasi, namun justru menjadikan keawaman pasien ini sebagai lahan mencari untung. Tahukah anda, 90% kasus ISPA disebabkan karena virus, tidak perlu terapi antibiotik? banyak dokter sengaja memberikan antibiotik bukan atas indikasi namun demi fee-peresepan. Tahukah anda bila dokter SENGAJA melakukan terapi tanpa indikasi ia dapat dituntut malpraktek (pure malpractice)?

Bila tak tahu atau tak mau tahu dengan dunia medis, rasa percayapun tak tersepakati, tentu mustahil untuk mencapai terpenuhinya 6 asas tersebut. Mana mungkin asas autonomy terlaksana bila pasien tak tahu apa yg terjadi pada dirinya dan tindakan medis apa saja yg dpt dilakukan oleh dokter?

Mari kita berandai2, seandainya hubungan antara Ibu Prita dengan dokter dan RS ybs memenuhi 6 asas tersebut. Alangkah mulianya dokter yang memperkenalkan dirinya di depan pasien, mengambil persetujuan pasien atas dirinya sebagai tempat sandaran kepercayaan. Alangkah mulianya seorang dokter yang memberi waktu luang pada orang yang ingin percaya padanya untuk bertanya banyak mengenai kondisi sakitnya. Alangkah mulianya seorang dokter yang menjelaskan segala macam pilihan tindakan dan resikonya sehingga bahkan pasien sendiripun dapat memilih dengan sendirinya tindakan apa yg akan dilakukan pada dirinya. Alangkah mulianya seorang dokter yang jujur memohon maaf dan menjelaskan bahwa diagnosis belum dapat ditegakkan meski segala pemeriksaan telah dilakukan, daripada bersikap maha tahu bagaikan dewa. Alangkah mulianya seorang dokter yang dengan jujur berkata “saya tidak mampu” daripada asal menerka dan beraksi coba-coba. Alangkah mulianya seorang dokter yang tulus memohon maaf karena meskipun telah berusaha dengan segala cara, ia tetap gagal menangani pasiennya. Ya, bagaimanapun dokter adalah manusia, bukanlah sosok sempurna.

… saya pikir, tak perlulah berobat ke RS berlabel Internasional, cukup di Puskesmas desa, bila semua dokter di Indonesia tidak hanya pandai, namun berhati mulia seperti ini. Ya, mungkin menurut anda yang saya ceritakan hanya idealita mimpi, saya juga beranggapan demikian. Namun, apakah anda tidak mau mewujudkan mimpi ini dalam kenyataan? mari kita benahi, mulai dari titik ini, satu hal yang kecil namun berarti: cara pandang kita, mulailah menempatkan dokter dan pasien dalam hakikat posisi yg sebenarnya. Dokter dgn pasien, bukan pedagang dengan pembeli.

KESIMPULAN

Yah, lagi-lagi hanya bisa menyarankan…

Kepada para pasien: hubungan antara dokter dengan pasien bukanlah hubungan jual-beli. Kalau anda beli beras, bolehlah anda cukup amati berasnya saja. Tapi ini masalah nyawa, kenalilah dokter dan sakit anda sebelum menyerahkan raga anda. Peganglah selalu bahwa anda punya hak untuk memilih siapa dokter anda percaya, yang menjunjung tinggi 6 butir asas etika kedokteran diatas. Carilah dokter-dokter yang lurus dan benar, masih banyak dokter seperti itu di Indonesia, banyak dari mereka justru anda dapatkan bukan di RS mewah dan berkelas, hanya praktekan mungil di sudut jalan yang sepi terpencil. Jangan hanya mengamati dari mewah dan canggihnya iklan dan kesan. Pengobatan bukanlah benda yang diperjualbelikan, namun masalah kepercayaan.

Kepada para dokter dan penyedia layanan kesehatan: bertobatlah, kembalilah ke jalan yang benar. Lihatlah quote di baris paling atas — itu adalah kutipan sumpah anda ketika dilantik menjadi dokter; ingatlah bahwa hidup anda telah anda serahkan untuk kemanusiaan, bukan untuk bisnis atau nyambi bisnis. Kalau mau berbisnis, jadilah pedagang, bukan dokter.

Kepada para pembaca: mohon maaf sebesarnya bila ada salah kata yang meyakiti hati dan menyinggung perasaan. Ini hanya opini, bukan mencoba sok suci, sok idealis, tidak bermaksud menggurui atau menyinggung pihak manapun. Saya hanya dokter yang baru saja menetas, masih tertatih, mencoba untuk berjalan di jalan yang idealis. Mohon bimbingan dan koreksi agar saya tetap di jalan yang lurus dan benar.

Pelajaran ini berguna banget buat kita semua, karena kita ga pernah tau kpn kita akan sakit & mungkinkah kita selalu sehat.
Buat para member yang memang dari dunia medis, saya minta maaf bila tulisan ini ada yang menyinggung kalian tapi demi Tuhan bukan itu maksd saya. Saya hanya ingin berbagi hal yang bermanfaat buat kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar