Rabu, 16 Desember 2009

Segelas Es Cincau

Pada suatu sore yang biasa beberapa hari yang lalu, dalam perjalananan pulang gue dari kantor menuju rumah, di perempatan salemba, ada pemandangan yang menurut gue sungguh menyenangkan hati dan menggugah banyak kesadaran atau bahkan merupakan sebuah antitesis dari apa yang selama ini pahami dari sebuah arti kebahagiaan.

Adalah seorang pedagang es cincau dan gerobaknya lengkap dengan klenengan dipegangan dorongannya parkir ditrotoar perempatan salemba. Es cincau, sebuah jajanan yang kian hari kian termarjinalkan ditengah ganasnya serbuan makanan-makanan serupa dengan label kapitalis. Disekeliling gerobak berkumpul beberapa pedagang Koran, asongan, anak-anak jalanan dan beberapa orang berpakaian seadanya sedang menikmati es cincau di gelas besar. Apa yang istimewa? Yang istimewa adalah atmosfir yang tercipta disekitar gerobak es cincau. Seperti ada kubah ga terlihat yang melingkupi mereka semua dan pusat semestanya adalah sebuah gerobak cincau yang agung. Kubah yang gue sebut sebagai kubah kebahagiaan.

Ah, kalo aja lo ngeliat langsung bagaimana ekspresi wajah-wajah mereka waktu mereka meneguk es cincau itu. Bahagia sekali, terlihat jelas kepuasan mereka ketika tegukan pertama, kedua, dan yang ketiga diselingi dengan canda sesama mereka. Seperti mereka lebur didalam cawan keakraban. Indah sekali. para penjual Koran yang duduk tepekur menatap gelasnya yang mengembun karena es, para pedagang asongan yang senda guraunya sampai terdengar ditempat gue berdiri, anak-anak jalanan yang berbagi satu cangkir besar cincau sambil becanda, atau seorang ibu yang terlihat bangga karena telah dapat memberi anaknya kesenangan dengan segelas cincau. Indah sekali mengetahui bahwa keterbatasan ekonomi tidak menghalangi mereka untuk menikmati hidup.

Mungkin bagi sebagian kita meminum es cincau adalah hal yang biasa atau mungkin beberapa dari kita udah tahunan ga minum cincau. Tapi bagi mereka, orang-orang yang bekerja dijalan, beradu dengan kerasnya aspal dan menantang teriknya matahari, es cincau adalah kemewahan tiada tara. Dengan uang Rp. 2000,- mereka dapat membeli sebuah gelas yang membuat mereka sedikit melupakan beban yang menghimpit. Kalian bisa bayangin berapa yang didapat para penjual Koran, anak jalanan, dan ibu-ibu yang tinggal dijalan. Gue rasa Rp.2000,- itu masih cukup mereka perhitungin buat dihabisin. Kalian bisa hitung berapa penghasilan mereka selama sehari dikurangi pengeluaran untuk makan, transportasi, minum dan biaya tidak terduga lain. Gue yakin hasilnya pasti minus sekian sekian. Tapi demi sebuah kepuasan, pelarian ataupun menyenangkan sang buah hati maka pengeluaran itu sepadan. Terharu gue ngeliat tawa mereka yang lepas ketika mereka meneguk cincau.

Ah, gue yang kurang bersyukur atas apa yang gue dapat...sedangkan mereka tetap dapat tersenyum walau belum tau makan apa nanti. Ketika sebagian kita mungkin baru terpuaskan setelah kita meminum secangkir Caramel Macchiato di gerai kopi ternama lengkap dengan sofa empuk, pendingin udara yang sejuk, live musik, koneksi internet wi fi, dan makanan ringan. mereka cukup bahagia dengan segelas cincaunya dan teman akrab disampingnya. Ketika kita mengeluhkan tentang gaji kita yang kecil, mereka cukup puas dengan apa yang didapat hari ini, besok bagaimana besok. Sungguh membangkitkan kesadaran yang terdalam, bahwa kita masih jauh lebih beruntung. Tapi kita selalu mengeluh, sedangkan mereka dapat tetap tersenyum dan tertawa dalam keadaan yang paling menghimpit sekalipun. Kita yang tidak pernah puas, mereka yang menerima apa adanya. Ah, sepertinya lelah mereka hilang seketika ketika es cincau mengalir mulus ditenggorokan dan mendarat sukses dilambung mereka. Nikmat sekali keliatannya. Gerobak cincau sore itu telah memberikan kesadaran yang luar biasa. Segelas es cincau besar dan tawa renyah mereka telah mendinginkan hati gue yang kurang bersyukur. Karena satu gelas besar es cincau yang dingin adalah sebuah anugerah Tuhan atas jiwa-jiwa jalanan yang mau bekerja keras.
kadang hanya dengan hal - hal kecil saja sudah membuat kita bahagia
namun, rasa tidak pernah puas kita sebagai manusia yang selalu membuat kita tidak pernah memandang hal - hal kecil tersebut.

Mata gue mulai basah..


“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar