Selasa, 08 Desember 2009

FILOSOFI

Berhubung saya lagi ngetik dikomputer jadi filosofinya ga jauh-jauh ama urusan ngetik.

Filosofi Mengetik 10 Jari, Afirmasi Sebuah Pesan Kemanusiaan

1. Mengetik 10 jari, bukan hal yang baru, meski bagi sebagian pengguna komputer (khususnya 11 fingers typist) mengetik 10 jari dianggap menakjubkan.

2. Mengetik 10 jari, di mana semua jemari dilibatkan dalam satu pekerjaan, di bawah satu komando pikiran dan niat demi satu tujuan. Tak ada jari yang bekerja, sementara yang lainnya nganggur. Tak ada satu-dua jari digunakan, sementara jari lain dimarjinalkan.

3. Mengetik 10 jari, menegaskan secara gamblang, bahwa dalam setiap langkah dan pekerjaan, harus selalu ada pendelegasian wewenang. Mana yang pantas diamanati tanggung jawab X, mana yang patut diberi tugas Y, dan mana yang cocok diserahi peran Z. Sebagaimana tergambar dengan jelas praktek mengetik 10 jari, di mana antara jari yang satu dengan jari lainnya, mengemban tugas masing-masing.

4. Mengetik 10 jari, mengingatkan kita akan kesadaran pluralisme, tepa selira, sikap empati, dan saling menghargai. Setiap jari memiliki area kerja masing-masing. Tab, Caps Lock, Shift, Ctrl, Alt, 1, Q, A, dan Z dipegang oleh jari kelingking kiri. Area 2, W, S dan X adalah wilayah jari tengah kiri. Telunjuk kiri dan kanan masing-masing berarea kerja 8 keys keyboard tengah. Ibu jari bekerja hanya di area spasi, dan seterusnya.

5. Kesadaran pluralisme, bahwa setiap jari ditakdirkan berbeda dalam hidup dan kontribusinya, sebagaimana halnya kita dilahirkan dalam pluralitas : Islam, Kristiani, Hindu, Budha,Yahudi , dan banyak lagi. Seperti pendahulu-pendahulu kita yang merancang arti dari pancasila yang sering kali kita lupakan. Bukankah Pancasila merupakan simbol toleransi utama di Indonesia. Dari awal penciptaannya sampai skrg sangat menjaga keadilan bangsa Indonesia. Jika itu semua bisa kita junjung tinggi bukan tidak mungkin akan menyelesaikan tugas kita didunia dengan mudah & indah bila kita berjalan beiringan dan selalu bersatu dalam kebersamaan seperti halnya saat kita mengetik dengan sepuluh jari yang bisa menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat?

6. Tepa selira, sikap solidaritas kepada sesama, tanpa melihat label agama yang diyakini, darah dan keturunan mana ia berasal atau lebih kita kenal dengan SARA.

7. Sikap empati, dan saling menghargai. Saya sudah setahun melihat di dunia maya, mencermati setiap respon Blogers, facebookers or sejenisnya yang notabene dengan beragam profesi dan pendidikan. Awal-awal saya di dunia maya, saya biasa mencibir tulisan mereka-mereka yang menurut saya tidak menawarkan kebaruan (novelty, kalau menurut seorang wartawan), atau bersikap sinis ketika menjumpai blog atau jejaring sosial yang kering dan monoton (padahal blog atau jejaring sosial saya juga demikian). Tapi baru-baru ini saya menyadari satu hal, ketika beberapa hari yang lalu, saya dibuat tercengang dan takjub dengan pekerjaan seorang tukang tambal ban di dekat tempat saya bekerja. Saya baru menyadari dan mengakui dengan sepenuh hati, pekerjaan tambal ban ternyata begitu menakjubkan. Dulu saya sinis dengan pekerjaan-pekerjaan rendahan model seperti itu, tapi kini saya harus berbalik 180 derajat dari paradigma semula, ketika saya dapati sebuah aksioma bahwa seorang profesor yang sejenius apapun, atau sarjana yang bacaan-bacaannya seberat apapun, tetap saja mereka tidak akan tahu jika ditanyai urusan soal tambal ban. Itu artinya, setiap pekerjaan dan profesi memiliki nilai tersendiri. Sangat menggelikan jika seorang pemikir mencemooh tukang gorengan hanya karena tukang gorengan cuma bisa menggoreng, sementara pada saat yang sama, si pemikir tidak memiliki kecakapan apapun soal goreng-menggoreng. Di sinilah pesan untuk saling menghargai harus ditegaskan kembali. Akhirnya setiap orang adalah unik, lantaran memiliki kemampuan dan keahlian tersendiri. Dan apabila persatuan dalam perbedaan bisa tergalang, maka semakin cepat dan kian dekatlah kita dengan tujuan yang dicitakan, sebagaimana sepuluh jari yang berbeda fisiologi dan tugas, bersatu dan dipersatukan, sehingga tugas-tugas mengetik bisa kelar dengan cepat, dan masalah typo (kesalahan ketik) bisa diminimalisir.

8. Sekarang saya berusaha melihat semua yang bertebaran di dunia blog atau jejaring sosial dengan lapang, dan bersedia untuk tersenyum. Tulisan-tulisan lembek dan melankolis, tak lagi saya sinisi, melainkan saya bookmark, sehingga jika sewaktu-waktu suasana hati saya sedang ingin ber-melow ria, saya bisa menyambanginya. Tulisan-tulisan motivatif dan inspiratif yang kerap saya acuhkan, mulai saya catat link-nya, untuk kemudian saya bacai ketika suasana batin saya sedang galau, gelap, atau diselimuti kabut duka. Tulisan-tulisan praktis dan pendek, saya ingat-ingat pula agar saya bisa berpikir pragmatis terhadap segenap persoalan yang bertandang dalam keseharian. Tulisan-tulisan puitis dan imajinatif, saya simpan baik-baik agar ketika sewaktu-waktu batin didera kehampaan dan kekeringan, ia bisa menjadi gerimis yang menyejukkan. Semua tulisan-tulisan, saya coba untuk saya apresiasi, sebab masing-masing tulisan, se-tidak bermutu apapun, saya percaya bahwa suatu waktu, ia bisa menjadi bernilai, dan mampu menyuntikkan semangat yang tiada tandingannya. Terlebih lagi karena tulisan-tulisan di semua blog atau jejaring sosial lahir dari berbagai strata pemikiran, dan tentu amatlah tidak adil dan tidak berprikemanusiaan, jika saya men-cap tulisan mereka kurang bermutu, jelek, membosankan, tidak menarik, obsolet, dan lain sebagainya. Karena apa? Karena paper seorang profesor bisa dianggap bermutu di kalangan para akademisi, namun hanya akan menjadi bungkusan gorengan bagi pedagang gorengan. Artinya, setiap entitas mempunyai mutiara nilai pada tempatnya masing-masing.

9. Untuk bisa memiliki kemampuan mengetik 10 jari—meski kemampuan ini tak terlalu mendesak dibutuhkan—tidak bisa tidak, membutuhkan proses. Jari-jari yang selama ini jarang digunakan, diikutsertakan. Jika semua jari tangan sudah mengenal pada tempatnya masing-masing, maka yang dibutuhkan selanjutnya adalah pelemasan. Ya. Seluruh jari tangan harus lemas, tidak boleh kaku satu-sama lain, dibiarkan refleks agar bisa lebih mencapai kecepatan yang lebih tinggi. Begitu pula kita sebagai manusia sosial, sikap rigid satu sama lain, hanya akan menuai ketegangan bermasyarakat. Dan cita-cita untuk madani, hanya akan menjadi utopia.

10. Namun perlu diafirmasikan pula, bahwa kapabilitas mengetik 10 jari bukanlah sebuah superioritas, dan mereka yang masih dalam taraf mengetik 11 jari (alias hanya menggunakan telunjuk kanan dan telunjuk kiri) adalah minor. Bukan begitu. Keberadaan mereka yang masih start di jalan awal, menjadi cermin sekaligus pengingat, bahwa diri yang sekarang sudah bisa mengetik cepat dengan all full-fingers, dulu pun tak ada beda dengan mereka ketika pertama kali mengenal dan memegang keyboard. Kita mungkin seorang intelek, ahli pendidikan, ahli agama, atau apalah itu, namun bukan berarti kita lebih unggul dari mereka yang baru mulai melangkah di belakang, karena dulu pun kita memulai semuanya dari nol. Maka puji Tuhan Semesta Alam, yang telah berkenan menaikkan derajat-derajat kemampuan kita, apapun itu, baik yang kita sadari maupun tidak.

Segitu dulu, mudah2an tidak sulit difahami namanya juga filosofi ngebacanya harus pake imajinasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar