Rabu, 16 Desember 2009

PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DALAM NEGERI SEBAGAI UPAYA MENGURANGI IMPORT BERAS

ABSTRAK

Tantangan terbesar Indonesia adalah bahwa tidak dengan mudah kita mengabaikan ketahanan pangan karena tingkat urbanisasi yang tinggi yang berbarengan dengan tingkat kemiskinan perkotaan, yang mana sangat membutuhkan pangan yang murah. Apalagi produksi pangan domestik 9dalam negri) belum bisa menjamin harga pangan yang murah bagi kaum miskin kota. Tapi pada saat yang sama harus menghadapi cara bagaimana memproteksi petani kecil dan miskin dari dampak perdagangan pangan global atau yang lebih di kenal dengan import beras.. Meningkatnya populasi penduduk perkotaan dari 15% di tahun 1950 menjadi 46% di tahun 2003, menjadi tantangan pemenuhan ketahanan pangan kota

Dilema bagi Indonesia adalah bahwa Petani tidak banyak menikmati harga dasar pangan yang adil. Sayangnya harga yang adil bagi petani identik dengan naiknya harga pangan. Sedangkan kaum miskin kota, yang semakin meningkat dari tahun ke tahun justru membutuhkan pangan yang murah, demi akses yang lebih baik bagi kaum miskin. Revitalisasi pertanian SBY hanya menyentuh aspek produksi dan tidak banyak menjawab persoalan yang lebih hakiki yakni soal akses atas pangan yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Aspek akses mendapat ancaman serius dengan naiknya BBM dan tidak serta merta selesai dengan kompensasi BBM dalam bentuk bantuan langsung tunai.

A. PENDAHULUAN

Kondisi ketahanan pangan global tidak berbeda jauh dengan keadaan di Indonesia, yaitu masih saja terdapat kantong-kantong kemiskinan di berbagai negara. Untuk memenuhi komitmen World Food Summit 2002 yang menegaskan kembali komitmen deklarasi yaitu untuk mencapai ketahanan pangan bagi setiap orang dan mengikis kelapangan di seluruh negara. Sasaran kuantitatifnya adalah mengurangi jumlah penduduk rawan pangan/miskin dari 800 juta jiwa pada tahun 1996 menjadi tinggal 400 jiwa pada tahun 2015.

Sejalan dengan itu, pangan telah menjadi fokus internasional yang memerlukan upaya yang sinerjik, baik antar lembaga pemerintah, lembaga internasional, dan juga peran masyarakat sendiri. Untuk itu, dalam merumuskan paragraf naskah WFS 2002 dan tindak lanjutnya, maka Pemerintah memiliki perhatian terhadap peran hubungan dengan kelembagaan internasional, dan peran civil society (LSM/ NGO), urbanisasi, petani miskin, kesempatan kerja, dan program pengembangan ketahanan pangan (seperti JPS).

Isu ketahanan pangan merupakan isu global, sehingga lembaga-lembaga internasional yang berada dalam wadah PBB dan lembaga bilateral/multilateral telah meletakkan isu tersebut sebagai concern yang integral dalam upaya pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat. Untuk itu, kesempatan mendapatkan transfer teknologi dan informasi dalam kerangka kerja sama internasional sangat terbuka.

Dalam kaitannya tugas pokok dan fungsi BKP terhadap perkembangan hubungan kerjasama luar negeri dalam konteks ketahanan pangan dan pembangunan pertanian, antara lain dilakukan melalui beberapa bentuk kegiatan yang menghasilkan beberapa bahan kebijakan nasional dalam menempatkan dirinya di lingkungan yang global.

B. MODEL-MODEL POLICY ISSUE PAPER

Ada beberapa alasan yang mendasar mengapa model “A POLICY SCENARIO ANALYSIS OF SUSTAINABLE AGRICULTURAL DEVELOPMENT OPTIONS” (A Case Study for Nepal) saya gunakan dalam penyusunan skenario kebijakan mengenai ” Peningkatan Ketahanan Pangan Dalam Negeri Sebagai Upaya Mengurangi Import Beras”:

1. Pemerintahan Nepal dan pemerintahan Indonesia sama-sama mempunyai keinginanan yang kuat untuk memajukan sektor pertanian secara berkelanjutan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Mentri Pertanian Indonesia.

2. Situasi dan kondisi geografis negara Nepal merupakan tidak jauh berbeda dengan situasi dan kondisi geografis negara Indonesia yaitu sama-sama negara agraris.

Pada tahun 1996, melalui pertemuan World Food Summit (WFS), dunia telah bersepakat untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi setiap orang dan menghapuskan penduduk yang kelaparan di seluruh negara. Sasarannya adalah mengurangi jumlah penduduk rawan pangan menjadi setengahnyapaling lambat tahun 2015. Dengan jumlah penduduk yang rawan pangan di dunia tahun 1996 diperkirakan sekitar 800 juta jiwa, maka sasaran pengurangannya sebesar 400 juta jiwa selama 20 tahun, atau rata-rata 20 juta jiwa per tahun. Pada tahun 2002, melalui pertemuan yang sama di Roma, dunia kembali mempertegas dan memperbarui komitmen global yang dibuat dalam Deklarasi Roma 1996. Karena kinerja pencapaian sasaran dalam lima tahun pertama tidak memuaskan, maka pertemuan WFS 2002 memutuskan untuk meningkatkan sasaran pengurangan penduduk rawan pangan sejak tahun 2002 menjadi rata-rata sekitar 22 juta jiwa per tahun.

Salah satu komitmen penting dalam Deklarasi Roma 2002 adalah penegasan pentingnya pembangunan pertanian dan perdesaan dalam mengikis kelaparan dan kemiskinan. Dunia menyadari bahwa pembangunan pertanian dan perdesaan mempunyai peran kunci dalam pemantapan ketahanan pangan, karena 70 persen penduduk miskin dunia hidup di perdesaan dan mengandalkan sumber penghidupannya dari sektor pertanian. Gambaran kondisi ini ternyata sangat relevan dengan Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada puncak krisis ekonomi tahun 1998, jumlah penduduk miskin hampir mencapai 50 juta jiwa dan sekitar 64,4 persen tinggal di perdesaan. Pada tahun 1999, saat ekonomi menuju pemulihan, jumlah penduduk miskin turun menjadi sekitar 37 juta jiwa dan sekitar 66,8 persen tinggal di perdesaan. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan dan penghapusan kelaparan hanya dapat dilakukan melalui pembangunan pertanian dan perdesaan yang berkelanjutan, yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian, produksi pangan dan daya beli masyarakat

C. ANALISIS RESOURCES DAN INTERAKSI PARA AKTOR

LSM – LSM PERTANIAN

Ø Federasi Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (FPNSIB)

Ø Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI)

Ø Serikat Tani Nasional (STN )

Ø Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina)

Ø Serikat Pemuda untuk Demokrasi (SPDD)

Ø Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)

Ø Bina Swadaya

Ø Farmer’s Initiative for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD

Ø Aliansi Petani Indonesia (API)

Ø Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI )

Ø Kontak Tani Nelayaan Andalan (KTNA)

Ø Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI)

Ø Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)

1. Kerjasama dengan International Fund for Agricultural Development

Dalam mengembangkan kegiatan di kawasan pertanian yang berpenduduk miskin di lahan kering, tadah hujan, dan kurang mendapat kesempatan dalam proses pembangunan yaitu masyarakat miskin di pedesaan yang hidup serba keterbatasan: berusaha tani secara tradisional, dukungan fasilitas sarana dan prasarana masih belum memadai, kemampuan ekonomi karena kemiskinan sehingga kemampuan modal sangat minim, maka telah dilakukan kerja sama antara Departemen Pertanian. Tujuan skim program ini adalah meningkatkan pendapatan petani dan keluarganya; meningkatkan kegiatan konservasi dan pelestarian sumber daya alam serta lingkungan; terwujudnya sistem pertanian yang berkelanjutan dan usaha tani kelompok dan partisipasi wanita; untuk mewujudkan ketahanan pangan di pedesaan. Skim program dilaksanakan tahun 2001-2008 dengan nama Participatory Integrated Development in Rainfed Areas Program (PIDRA).Kegiatan yang dikembangkan berupa pemberdayaan masyarakat desa, yang difokuskan secara khusus bagi petani miskin yang berusaha tani di lahan kering, melalui proses penumbuhan kemandirian masyarakat dengan pandampingan LSM. Komponen kegiatan yang dilaksanakan adalah: (1) pengembangan masyarakat dan Jender; (2) pengembangan pertanian dan peternakan; (3) pembangunan prasarana dan sarana pedesaan; dan (4) dukungan kelembagaan dan manajemen, (5) pemberdayaan masyarakat dan kesetaraan jender; (6) pengembangan usaha mikro; dan (7) pengembangan sumber daya alam berbasis masyarakat.

Dengan upaya ini, diharapkan dapat mendorong inisiatip masyarakat miskin yang berada di kawasan lahan kering/tadah hujan untuk mampu memperbaiki taraf hidupnya. Melalui pembinaan selama 6-9 bulan, kelompok diharapkan sudah dapat mandiri, tumbuh, dan mampu berorganisasi, melakukan pemupukan modal sendiri, serta menjalin akses usaha individu dan kelompok secara terencana dan berkesinambungan.

Dari hasil kerja sama ini, Pemerintah dan masyarakat penerima manfaat telah mendapatkan pelajaran antara lain: (1) pentingnya pengakuan/apresiasi dan kepercayaan kepada kemampuan lokal masyarakat dalam mengelola potensi sumber daya yang dimilikinya; dan (2) pentingnya kerja sama dengan pranata-pranata yang tumbuh di masyarakat, seperti lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kompetensi dan concern yang tinggi terhadap upaya pemberdayaan masyarakat di wilayah.

2. Kerjasama dengan Food and Agriculture (FAO)

a. Special Program for Food Security (SPFS)

Kerja sama Departemen Pertanian dengan FAO, salah satunya diwujudkan dalam kegiatan pembangunan ketahanan pangan masyarakat, dilaksanakan untuk: (1) memotivasi masyarakat dalam meningkatkan produksi dan produktivitas serta memperkuat ketahanan pangan wilayah secara partisipatif; (2) meningkatkan kemampuan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring kegiatan pembangunan ketahanan pangan di wilayah dan nasional; serta (3) memperkuat kelembagaan masyarakat. Berbagai kegiatan yang dilaksanakan melalui SPFS didanai oleh pemerintah Jepang dan dikelola oleh FAO. Jumlah dana bantuan grant/ hibah ini berjumlah US $ 2,5 juta selama 5 tahun, dengan dana pendamping dari pemerintah Indonesia sebesar US 0,8 juta dalam bentuk natura. SPFS dilaksanakan untuk membangun model pemberdayaan masyarakat dengan jalan memperkuat ketahanan pangan, merevitalisasi perekonomian pedesaan, dan mengurangi Laporan Kinerja Tahun 2005 Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian 139 kemiskinan di pedesaan, yang pada akhirnya akan memperbaiki perekonomian dan pemenuhan gizi masyarakat. Model Special Programme for Food Security (SPFS) dilaksanakan dalam jangka waktu lima tahun untuk memanfaatkan grant/hibah dari negara Jepang. Secara umum, kegiatan SPFS diarahkan untuk merevitalisasi program produksi pangan yang sudah ada, dan memperbaiki produksinya secara berkelanjutan melalui: (1) pengendalian sumber air secara mikro yang dapat melindungi penduduk dari kekurangan/ kelebihan air akibat pengaruh cuaca; (2) mempercepat peningkatan produksi tanaman, ternak, dan budi daya ikan oleh petani kecil; (3) mengidentifikasi hambatan sosial ekonomi terhadap produksi, pemasaran, dan pengolahan komoditi pertanian; (4) membangun sistem produksi yang dapat di terima secara ekonomi di setiap daerah; dan (5) membentuk program pertanian nasional dan program investasi yang dapat menjamin ketahanan pangan dan gizi seimbang untuk seluruh penduduk. Mengingat kegiatan ini di mulai sejak tahun 2002, maka pada saat ini kegiatan yang sudah dilaksanakan baru pada 36 kelompok tani, dengan melalui proses tahap identifikasi petani dan lokasi serta pembinaan, melalui kegiatan berupa: participatory rural appraisal, perencanaan dari bawah, pelatihan aparat/ petugas, dan proses pengadaan sarana bantuan. Pada tahun 2003 telah dilaksanakan: (a) pendalaman dan pendampingan dalam rangka penyusunan Perencanaan Pengembangan Kelompok Tani; (b) perbaikan prasarana pengairan; dan (c) penyaluran input produksi berupa ternak, pengadaan motor tempel, serta hand traktor. Guna mengevaluasi dan menyempurnakan efektivitas program SPFS, maka pada dilaksanakan koordinasi Teknis SPFS dan Workshop FGDP, sebagai tindak lanjut dari workshop FGDP yang telah dilaksanakan di masing-masing kabupaten pelaksana SPFS. Pendampingan dalam rangka penyusunan FGDP dilaksanakan melalui kerja sama antara FAO dengan Fakultas Pertanian Universitas Riau, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, Fakultas Pertanian Universitas Mataram, dan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin.

Hasil pembelajaran yang dapat di tangkap dari kerja sama ini antara lain kesadaran akan keberagaman tipologi lahan, budaya, dan usaha tani yang dikembangkan, menuntut adanya penyelesaian permasalahan yang berbeda dan menekankan pada pendekatan lokal spesifik, dengan memperhitungkan kebijakan/kearifan setempat (local wisdom). Adapun peran intervensi kegiatan dari luar, termasuk pemerintah, lebih kepada pengayaan atas pengenalan yang di dapat.

140

b. National Program for Food Security (NPFS)

Program Pendukung Desentralisasi Ketahanan Pangan Nasional (NPFS) dikembangkan atas dasar supervisi Kepala BKP dan Ketua Harian DKP, dengan pembiayaan dan dukungan tenaga ahli dari Program Kerja sama Teknis FAO. Kegiatan ini mulai dikembangkan pada tahun 2004 yang diarahkan untuk pemantapan kapasitas DKP pada berbagai tingkatan, fasilitasi peningkatan kemampuan kelembgaan ketahanan pangan, dan memformulasikan kembali program ketahanan pangan nasional. Kegiatan NPFS di daerah dilaksanakan secara terintegrasi dengan kegiatan di kabupaten pelaksana kegiatan SPFS. Melalui program ini diharapkan dapat di bina berbagai bentuk kerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), dan pembelajaran atas proses menyeluruh terhadap akses dukungan stake holder yang terlibat.

Selanjutnya kegiatan direncanakan akan dilanjutkan dengan maksud untuk mendukung pencapaian tujuan ketahanan pangan sesuai dengan strategi nasional pengentasan kemiskinan dan sasaran pembangunan millennium (millenium development goals).

3. Kerja Sama dengan World Food Program (WFP)

a. Food Insecurity Atlas (FIA)

Selama tahun 2002-2003, telah diupayakan penyusunan Peta Ketidaktahanan Pangan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur dan sejak 2 September 2003, telah di bantu oleh konsultan WFP, dengan memasukan 14 indikator dari 18 indikator yang ditetapkan. Berdasarkan indikator tersebut, peta di susun dalam 4 kelompok komposit, yakni kelompok ketersediaan pangan, akses pangan, konsumsi pangan, dan kerawanan, yang selanjutnya di masing-masing propinsi di gabung menjadi satu Peta Ketidaktahanan Pangan. Kerja sama BKP/Sekretariat DKP dengan United National World Food Programme (WFP) berupa pembuatan Atlas Ketidaktahanan Pangan tahun 2002- 2003 untuk Propinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat, menggunakan indikator yang ditetapkan. Dari pemanfaatan Atlas Ketidaktahanan Pangan di Propinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat di buat rekomendasi untuk: (1) Meningkatkan output pertanian dengan cara berkelanjutan; (2) Pengentasan kemiskinan untuk ketahanan pangan; (3) Perubahan dari indikasi kerawanan gizi, karena spektrumnya lebih luas dari pada kerawanan pangan; dan (4) Meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana. Selanjutnya pada tahun 2004, indikator yang digunakan dikelompokkan dalam 3 dimensi ketahanan pangan (Dimensi Ketersediaan Pangan, Akses terhadap Pangan, dan Penyerapan Pangan) yang kegiatannya dilanjutkan kepada 30 propinsi dengan melalui proses pelatihan di 7 lokasi dan serangkaian workshop, sehingga pada tahun 2005 peta FIA di 30 propinsi dan nasional (FIA Indonesia) telah dapat disebarluaskan, yang selanjutnya dilakukan kegiatan koordinasi dan apresiasi dalam rangka sosialisasi pembuatan FIA ke tingkat propinsi, kabupaten sampai kecamatan. Di samping itu, juga telah dilakukan pelatihan kepada petugas kabupaten/ kota secara berjenjang tentang Disaster Management Training yang dimaksudkan untuk: (1) meningkatkan kemampuan dan pengetahuan petugas kabupaten dan petugas terkait tentang manajemen pengendalian bencana pada tanaman pangan; (2) meningkatkan kemampuan dan pengetahuan petugas teknis kabupaten dan petugas terkait tentang kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana banjir pada tanaman pangan; dan (3) meningkatkan pengetahuan dan kemampuan petugas teknis kabupaten dan petugas terkait agar mampu melakukan alih teknologi kesiapsiagaan dan penanggulangan kepada petani. Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti adalah memberikan penyaluran aspirasi dan inspirasi masyarakat agar kompatibel dengan sistem yang dikembangkan. Dengan demikian, mekanisme penanggulangan bencana secara swakarsa akan terbentuk, dan peran pemerintah lebih kepada tugas memfasilitasi, mendinamisasi, dan memobilisasi energi-energi sosial yang berkembang di masyarakat.

b. PRRO (Protected Relief and Recovery Operation)

Badan Ketahanan Pangan sejak tahun tahun 2004 melaksanakan dua kegiatan yang dibiayai melalui dana yang berasal dari program bantuan pangan WFP PRRO yaitu Food Insecurity Atlas (FIA) dan Uji coba Penerapan Instrumen Pemantauan Kelaparan. Program bantuan pangan WFP PRRO telah berakhir pada bulan Desember 2004 dan diperpanjang sampai bulan Pebruari 2005. Kegiatan penanganan program bantuan pangan dari negara donor yang semula di kelola BAPPENAS, selanjutnya mulai Desember 2004 dilaksanakan oleh Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra). Dalam proses penandatangan MOU PRRO telah di bentuk Tim Kecil yang dikoordinasikan Kantor Menko Kesra dan beranggotakan instansi terkait yang mengelola bantuan yaitu: BAPPENAS, Departemen Luar Negeri, Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Badan POM, Departemen Pendidikan Nasional, Sekretariat Negara, Departemen Sosial, Bakornas PBP, Departemen Perdaganngan, dan Perum BULOG. Beberapa hasil perbaikan LOU antara lain:

a. Draft LOU PRRO di ubah sesuai kerja sama Pemerintah Indonesia dengan Lembaga Dunia yaitu menjadi MOU PRRO

b. Latar belakang bantuan yang semula memberikan kesan bahwa semua kegiatan WFP adalah respon WFP atas permintaan Pemerintah Indonesia diklarifikasi menjadi kesetaraan yang menjelaskan bahwa ada negara donor yang ingin membantu pangan melalui WFP dan sesuai kebutuhan Pemerintah Indonesia. Untuk itu, beberapa jenis bantuan yang mengakibatkan tambahan pengeluaran yang membebani dan sulit untuk dipertanggungjawabkan maka perlu di tanggung oleh WFP seperti bantuan beras untu mendukung kegiatan OPSM. Hal ini mengingat bahwa status BULOG sudah berubah menjadi perum, sehingga tidak menggunakan dana pemerintah.

c. Instansi/kelembagaan yang terlibat dalam MOU PRRO diperluas dengan menambah antara lain: Departemen Agama dan Badan POM.

d. Bentuk bantuan diharapkan dalam bentuk cash untuk dibelikan beras lokal dalam negeri.

e. Dalam rekruitmen LSM diharapkan berasal dari LSM lokal dan di bawah koordinasi pemerintah setempat.

f. Penanggung jawab bantuan disarankan satu pintu yaitu Menko Kesra sehingga yang menandatangi MOU perwakilan dari pemerintah Indonesia cukup dari Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Kesejahteran Sosial .

g. Untuk mempermudah pemahaman khususnya pelaksana di tingkat lapang maka MOU di tulis dalam dua bahasa, yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.h. Diusulkan bahwa pemegang rekening dana trust fund adalah pemerintah Indonesia yaitu berada di Kantor Menko Kesra.Inisiatif WFP untuk memberikan bantuan hibah berupa komoditi pangan sangat dihargai oleh masyarakat Indonesia, karena Indonesia membuka pintu bagi dukungan masyarakat internasional untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat Indonesia, sehingga perlu diadakan kesepakatan antara pihak pemberi dengan pihak penerima bantuan.

c. Bantuan WFP untuk Kegiatan SKPG di daerah Korban Tsunami di Propinsi NAD

Dalam upaya melakukan tindakan yang dapat menjaga kelangsungan pengawasan terhadap kejadian rawan pangan yang telah menimpa Propinsi NAD sebagai akibat tsunami pada akhir tahun 2004, WFP merencanakan memberikan bantuan terhadap kegiatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG). Untuk dapat menyelenggarakan SKPG secara berkelanjutan, maka perlu diupayakan peningkatan kembali kinerja sumber daya manusia dalam penanggulangan kerawanan pangan dan dapat mengidentifikasi daerah rawan pangan di luar daerah yang terkena bencana. Untuk itu, dalam rangka penyusunan proposal rencana bantuan WFP terhadap korban tsunami di Propinsi NAD, Badan ketahanan Pangan dan Departemen Kesehatan telah melakukan inisiasi rapat guna membahas rencana bantuan WFP tersebut. Kesepakatan dari rapat tersebut pada tanggal 14–17 Maret 2005 telah dilaksanakan identifikasi langsung ke lokasi oleh Tim Pusat yang terdiri dari BKP, Departemen Kesehatan, dan WFP guna mengetahui sejauhmana SDM yang masih ada dan dapat diberdayakan, serta dapat melaksanakan tugas dan fungsi dari masing-masing instansi, khususnya kemungkinan untuk dapat menyelenggarakan kegiatan SKPG. Berdasarkan hasil identifikasi lapang, telah dilakukan pemprosesan data untuk memantapkan penyusunan proposal bantuan WFP untuk kegiatan SKPG di Propinsi NAD.

D. STRATEGI DAN INSTRUMEN KEBIIJAKAN

Strategi umum untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan pertanian adalah sebagai berikut:

(1) Melaksanakan Manajemen Pembangunan Yang Bersih, Transparan Dan Bebas KKN.

Reformasi pembangunan menuntut perlunya segera dilaksanakan rekonstruksi kelembagaan pemerintahan. Kebijakan pembangunan di rancang dan dilaksanakan secara transparan dengan melibatkan partisipasi masyarakat, antara lain dalam bentuk debat publik, sosialisasi dan penyertaan masyarakat dalam pengawasan. Bersamaan dengan itu perlu dilakukan penataan berbagai sistem penyelenggaraan pemerintahan, antara lain sistem penganggaran, sistem penggajian, sistem rekruitmen dan penjenjangan karir pegawai, sistem pengawasan dan pengendalian, serta pembinaan mental individu aparat.

Dalam operasionalisasinya diperlukan peningkatan moral dan profesionalisme aparat dalam mendukung manajemen pembangunan yang bersih, peduli, transparan dan kredibel.

Manajemen pembangunan seperti itu diharapkan akan berdampak kepada pemanfaatan sumber daya pertanian secara optimal, memberikan insentif bagi investasi, berorientasi pada kepentingan masyarakat dan bebas dari praktek KKN.

(2) Meningkatkan Koordinasi Dalam Penyusunan Kebijakan Dan Manajemen Pembangunan Pertanian

Sebagai bagian dari tulang punggung pembangunan ekonomi, pembangunan pertanian harus dilaksanakan secara sinergis dengan pembangunan sektor lainnya mengacu kepada RPJMN. Di sisi lain pelaksanaan pembangunan pertanian dilakukan oleh berbagai pelaku pembangunan antara lain Departemen Teknis terkait, Pemerintah Daerah, petani, swasta/dunia usaha, dan masyarakat, serta stakeholders lainnya.

Dengan demikian untuk mewujudkan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, koordinasi adalah salah satu kunci keberhasilan karena kebijakan yang terkait dengan pembangunan pertanian tidak sepenuhnya menjadi kewenangan Departemen Pertanian, melainkan sebagian besar berada di luar Departemen Pertanian. Untuk meningkatkan koordinasi di tingkat pusat perlu dilakukan pengembangan jejaring kerja dengan memanfaatkan forum-forum koordinasi lintas sektoral dan sidang kabinet. Di dalam lingkup Departemen Pertanian peningkatan koordinasi memerlukan penjabaran tugas pokok dan fungsi unit kerja secara lebih jelas dan tegas antara tugas pembinaan (steering ), pengawasan dan pelaksanaan (rowing). Peningkatan koordinasi antara pusat dan daerah dilakukan dengan memanfaatkan dan mengembangkan forum-forum perencanaan dan advokasi kebijakan dan program pembangunan pertanian sesuai dengan peta kewenangan yang diatur oleh UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintah Daerah.

(3) Memperluas Dan Memanfaatkan Basis Produksi Secara Berkelanjutan.

Permasalahan mendasar yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya pertanian secara berkelanjutan adalah konversi lahan yang menyebabkan penurunan luas lahan sawah pada khususnya, penurunan kualitas daerah aliran sungai hulu (DAS) sebagai akibat meningkatnya intensitas usaha tani di daerah DAS, dan pertambahan penduduk yang memerlukan pemenuhan kebutuhan pangan sehingga meningkatkan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian pangan. Salah satu dampak dari ekstensifikasi antara lain adalah penggundulan hutan dan eksploitasi sumber daya lahan secara berlebihan. Di sisi lain, kekayaan dan keberagaman sumber daya lahan dan hayati Indonesia, perlu dilestarikan dan dimanfaatkan secara optimal untuk menciptakan saling ketergantungan yang menguntungkan antar wilayah, dan memacu kegiatan perdagangan domestik dan global, mengembangkan investasi untuk menciptakan sumber pertumbuhan dan pendapatan baru dengan menempatkan petani sebagai pelaku utamanya. Untuk itu perlu: (1) perluasan dan pemanfaatan basis produksi secara berkelanjutan melalui konsolidasi, (2) optimalisasi pemanfaatan lahan, (3) pembukaan lahan baru terutama di luar Jawa, dan (4) pelestarian dan konservasi sumber daya lahan dan hayati.

(4) Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Dan Memberdayakan SDM Pertanian

Dengan pemilikan lahan rata-rata kurang dari 0,5 hektar dan infrastruktur pertanian yang kurang memadai, organisasi petani dan kualitas sumber daya manusia yang lemah, tanpa adanya kelembagaan yang kuat dan manajemen pengelolaan lahan yang memungkinkan tercapainya skala usaha yang optimal, akan mengakibatkan usaha tani menjadi kurang menarik secara ekonomis, karena tidak dapat memberikan jaminan sebagai sumber pendapatan yang mampu memberikan penghidupan yang layak. Upaya peningkatan kesejahteraan petani kecil hanya dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas SDM pertanian dan kemandirian petani, serta pengembangan kelembagaan pertanian untuk meningkatkan akses petani kepada aset produktif di wilayah perdesaan.

(5) Meningkatkan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana Pertanian

Kondisi sarana dan prasarana pertanian sampai saat ini belum berpihak kepada petani sehingga mereka memiliki posisi tawar yang lemah. Sarana dan prasarana pertanian seperti sarana pengairan dan drainase, jalan, listrik, pelabuhan, transportasi dan telekomunikasi merupakan prasarana yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan pertanian. Penerapan inovasi teknologi sering terhambat karena tidak tersedianya sarana dan prasarana seperti penyediaan input produksi, jaringan informasi atau infrastruktur pemasaran hasil. Untuk itu pengembangan sarana dan prasarana dilakukan melalui: (1) fasilitasi penyediaan sarana dan prasarana termasuk sarana pemasaran yang dibutuhkan oleh banyak pelaku pembangunan pertanian, (2) merangsang investor untuk melakukan investasi usaha di bidang pertanian, dan (3) melakukan advokasi kepada instansi/lembaga lain untuk berpartisipasi dalam membangun sarana dan prasarana pertanian.

(6) Meningkatkan Inovasi Dan Diseminasi Teknologi Tepat Guna

Sejalan dengan pergeseran sistem dan manajemen produksi di masa yang akan datang dan menyikapi perkembangan permintaan pasar yang menyangkut mutu, harga, dan pelayanan, memerlukan perubahan strategi dalam menghasilkan inovasi teknologi, dengan memperhatikan keragaman pengguna, dan ekosistem pengembangannya. Dari sisi diseminasi, perlu perubahan strategi dalam mengidentifikasi dan melakukan karakterisasi

pengguna dan pelaku penyebaran inovasi pertanian. Rendahnya produktivitas dan kualitas produk pertanian Indonesia merupakan akibat langsung dari rendahnya tingkat inovasi teknologi yang diterapkan petani. Untuk itu perlu penajaman program penelitian untuk menghasilkan inovasi teknologi yang lebih sesuai dengan kebutuhan pengguna. Selain itu perlu reorientasi sistem diseminasi dan revitalisasi penyuluhan pertanian.

(7) Mempromosikan dan memproteksi komoditas pertanian

Komitmen Indonesia untuk menghilangkan hambatan dalam perdagangan yang dapat menimbulkan distorsi pasar ternyata tidak dilaksanakan oleh semua negara, sehingga petani Indonesia dihadapkan pada persaingan yang tidak adil dengan petani dari negara lain yang dengan mudah mendapat perlindungan tarif dan non-tarif serta subsidi langsung dan tidak langsung. Oleh karena itu, ke depan pemerintah masih harus menerapkan pengendalian harga sekaligus mempromosikan produk-produk pertanian strategis. Proteksi dapat dilakukan antara lain melalui kebijakan penetapan tarif dan pengaturan impor, penetapan harga dasar, memberikan subsidi secara tepat untuk sarana produksi, dan subsidi bunga kredit untuk modal usahatani. Promosi dapat dilakukan melalui antara lain peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha, perbaikan kualitas dan standardisasi produk melalui penerapan teknologi produksi, pengelolaan pascapanen dan

pengolahan hasil, serta menyediakan infrastruktur pertanian yang memadai.

E. FAKTOR-FAKTOR BESERTA ALTERNATIF SOLUSI

1) MASALAH BIROKRASI DEPARTEMEN PERTANIAN

Ada beberapa masalah birokrasi Departemen Pertanian antara lain:KKN; Lemah dalam Eksekusi; Koordinasi antar Lembaga lain lemah dan terlalu gemuk

Masalah Birokrasi Departemen Pertanian tersebut di atas dapat dicarikan solusinya dengan cara:

* Penerapan penyelenggaraan birokrasi yang bersih, amanah dan profesional

* Pemberdayaan semua stake holder dalam mengefektifkan Eksekusi

* Efektifitas peran perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan

2) MASALAHAN LAHAN PERTANIAN

Masalah yang berkaitan dengan lahan pertanian ini meliputi: luas pemilikan lahan petani sempit; Produktivitas Lahan Menurun; Alih Fungsi Lahan Produktif ke Industri; Belum Optimalnya Implementasi Pemetaan Komoditas Terkait dengan Agroekosistem Lahan; Masih Banyak Lahan Tidur

Masalah lahan pertanian tersebut di atas dapat dicarikan solusinya dengan cara:

* Pembangunan Agroindustri di Pedesaan dalam Upaya Merasionalisasi Jumlah Petani Dengan Lahan yang Ekonomis

* Penggalakkan Sistem Pertanian Yang Berbasis pada Konservasi Lahan

* Dikembangkan Sistem Pertanian Ramah Lingkungan (Organik)

* Perencanaan dan Implementasi RTRW yang Konsisten

* Pemanfaatan Lahan Tidur untuk Pemberdayaan Masyarakat

3) MASALAH KONDISI PETANI

Permasalahan yang berhubungan dengan kondisi petani: Jumlahnya Sangat Besar; Pendidikan Formal Rendah; Rendahnya Regenerasi Petani Pekerja Keras; Bekerja Tidak Efisien; Teknologi Rendah; Produktivitas/kk Rendah

Masalah kondisi petani tersebut di atas dapat dicarikan dengan beberapa alternatif solusi:

* Sistem pendidikan rendah/menengah berbasis kompetensi daerah

* Sekolah lapang berbasis teknologi tepat guna

* Dukungan Sistem Insentif DalamI mplementasi Produksi Komoditas Unggulan Wilayah (Daerah)

4) MASALAH KEPEMILIKAN TANAH

Ada banyak masalah yang berkaitan dengan kepemilikan tanah:Persengketaan Tanah Rakyat dengan Pengusaha/Pemerintah; Banyak Lahan Petani yang Belum Bersertifikat; Sistem Pewarisan Tanah; Banyak Petani yang Tidak Punya Lahan

Masalah kepemilikan tanah tersebut di atas dapat diatasi dengan beberapa cara:

* Reforma Pertanahan Berpihak Pada Petani (Rakyat), Mudah dan Murahnya Sertifikasi Tanah

* Mendorong Tumbuhnya LSM Pertanian dan Peran Advokasinya Untuk Petani

* Penumbuhan Kesadaran Petani Terhadap Hak-hak Petani melalui Pembinaann yang erkelanjutan

5) MASALAH MENTALITAS

Masalah mentalitas seperti : Petani Lemah Dalam Memperjuangkan Haknya; Lemahnya Kewirausahaan; Masih Percaya Mitos.

Masalah mentalitas ini dapat dicarikan dengan beberapa solusi:

* Sistem Pendidikan Rendah/menengah Berbasis Kompetensi Daerah

* Sekolah Lapang Berbasis Teknologi Tepat Guna

* Penumbuhan Kesadaran Petani Terhadap Hak-hak Petani Melalui Pembinaan yang Berkelanjutan

* Penggalakan Sistem Alih Teknologi Melalui Pendampingan, Diklat Lapangan Bagi Petani

* Pembinaan Motivasi, Etos dan Wawasan Kewirausahaan

6) MASALAH KETERAMPILAN

Antara lain meliputi: Keterbatasan Penguasaan Teknik Budidaya pada Komoditas Tertentu Saja; Kurangnya Orientasi Agribisnis; Kurangnya Penguasaan Proses Pengolahan Pasca Panen; Kurangnya Kemampuan Mengakses Pasar

Masalah ketrampilan dapat dicarikan solusinya dengan beberapa hal:

* Sekolah Lapang Berbasis Teknologi Tepat Guna

* Penggalakan Sistem Alih Teknologi Melalui Pendampingan, Diklat Lapangan Bagi Petani

* Pembinaan Motivasi, Etos dan Wawasan Kewirausahaan

7) MASALAH MODAL

Yaitu: Petani Kurang Modal; Sistem Perbankan yang Kurang Peduli Pada Petani; Belum Ada Asuransi Pertanian; Sistem Ijon

Masalah modal ini dapat dicarikan solusinya dengan beberapa cara:

* Mendorong Peran Lembaga Keuangan Untuk Masuk Sektor Pertanian Dengan Skema yang Menguntungkan Petani

* Mendorong Penguatan Modal Kolektif Petani

* Mendorong Peran Tengkulak Untuk Membangun Kemitraan Yang Adil dan Peduli Petani

* Merealisasikan Subsidi Pertanian yang Tepat Sasaran dan Bersifat Produktif

8) MASALAH PASAR DAN TATA NIAGA

Harga (tidak wajar, fluktuatif, bergantung pedagang, tengkulak, merugikan) Penguasaan fomasi dan Akses Pasar Lemah; Rantai Tata Niaga panjang

Masalah pasar dan tata niaga dapat dicarikan jalan keluarnya sebagai berikut:

* Ciptakan Pasar Alternatif, Dengan Rantai Tata Niaga Pendek

* Mendorong Terwujudnya Organisasi Tani Yang Kuat dan Berakar

* Meningkatkan Layanan Informasi Bagi Petani

9) MASALAH ORGANISASI PETANI

Organisasi petani juga banyak mengalami permasalahan: Lemahnya Kesadaran Berorganisasi; Kurang Berfungsinya Sebagian Organisasi yang Ada; Organisasi Tani Kurang Mandiri

Ada beberapa solusi untuk mengatasi masalah organisasi petani tersebut:

* Penumbuhan Kesadaran Petani Terhadap Hak-hak Petani Melalui Pembinaan yang Berkelanjutan

* Penguatan Organisasi dan Jaringan Tani

* Mendorong Tumbuhnya LSM Pertanian dan Peran Advokasinya Untuk Petani

10) MASALAH TEKNOLOGI

Meliputi:Sistem Alih Teknologi Lemah; Penerapan Teknologi Kurang Tepat Sasaran; Semakin Banyaknya Penerapan Teknologi Tidak Ramah Lingkungan

Masalah teknologi tersebut di atas dapat ditemukan beberapa solusi:

* Sistem Pendidikan Rendah-Menengah Berbasis Kompetensi Daerah

* Sekolah Lapang Berbasis Teknologi Tepat Guna

* Penggalakan Sistem Alih Teknologi Melalui Pendampingan, Diklat Lapangan Bagi Petani

* Mendorong Gerakan Pertanian dan Teknologi Pertanian yang Ramah Lingkungan

11) MASALAH INFORMASI

Antara lain: Info Teknologi Terbatas; Regenerasi Penyuluh Pertanian Mandeg; Informasi Stok dan Kebutuhan Komoditas Belum Terbangun; Pemanfaatan Teknologi Informasi Belum Menyentuh Petani; Minat Petani Mencari Informasi Lemah ; Penggunaan Media Informasi Pertanian Belum Meluas

Masalah ini dapat diatasi dengan beberapa alternatif solusi:

* Meningkatkan Layanan Informasi Bagi Petani

* Mendorong Motivasi Petani Untuk Menggali dan Menguasasi Info

* Penguatan Organisasi dan Jaringan Tani

12) MASALAH KEBIJAKAN

Seperti: Kebijakan Pertanahan (skala usaha tani, alih fungsi lahan, rencana tata ruang wilayah, reformasi administrasi pertanahan sertifikat, pengakuan hak ulayat belum dilaksanakan); Kebijakan Infrastruktur; Trade Off dari Otonomi Daerah Terkait Dengan Pembangunan & Pemeliharaan Infrastruktur Pertanian Industrialisasi Belum Berpihak pada Industri Pertanian; Kebijakan Pembangunan yang Masih Sektoral; UU SD Air Kurang Berpihak pada Petani

SOLUSI

* Kaji Ulang Kebijakan Pemerintah di Sektor Pertanian

* Mendorong Pengembangan Infrastruktur Pertanian

* Perencanaan dan Implementasi RTRW Yang Konsisten

* Dukungan Sistem Insentif dalam Implementasi Produksi Komoditas Unggulan Wilayah (Daerah) Penumbuhan Kesadaran Petani terhadap Hak-hak Petani Melalui Pembinaan yang Berkelanjutan

* Penguatan Organisasi dan Jaringan Tani

* Mendorong Tumbuhnya LSM Pertanian dan Peran Advokasinya Untuk Petani

* Penggalakan Sistem Alih Teknologi Melalui Pendampingan, Diklat Lapangan Bagi Petani

F. REKOMENDASI DAN SARAN

(1) Melaksanakan Manajemen Pembangunan Yang Bersih, Transparan Dan Bebas KKN.

(2) Meningkatkan Koordinasi Dalam Penyusunan Kebijakan Dan Manajemen Pembangunan Pertanian

(3) Memperluas Dan Memanfaatkan Basis Produksi Secara Berkelanjutan.

(4) Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Dan Memberdayakan SDM Pertanian

(5) Meningkatkan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana Pertanian

(6) Meningkatkan Inovasi Dan Diseminasi Teknologi Tepat Guna

(7) Mempromosikan dan memproteksi komoditas pertanian

TUGAS

POLICY SCENARIO PAPER

DITUJUKAN KEPADA:

PROF.DRS.SOLICHIN ABDUL WAHAB, MA, Ph.D

Oleh:

THOMAS

( )

MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar